BAB II
PEMBAHASAN
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila yang rumusannya termaktub dalam “Pembukaan” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu : “Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Piersatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Karena Pancasila adalah dasar Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga adalah dasar pendidikan nasional. Berkenaan dengan ini Pasal 2 Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan bahwa : “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pancasila adalah filsafat hidup bangsa Indonesia, maka pada hakikatnya bangsa Indonesia memiliki landasan filosofis pendidikan tersendiri dalam system pendidikan nasionalnya, yaitu filsafat pendidikan serba dimensi iu hakikatnya adalah satu kesatuan yang utuh.
2. Epistemologi
Hakikat Pengetahuan. Segala pengetahuan hakikatnya bersumber dari Sumber Pertama yaitu Tuhan YME. Tuhan telah menurunkan pengetahuan baik melalui Utusan-Nya maupun melalui berbagai hal yang digelarkanNya di alam semesta termasuk hokum-hukum yang terdapat di dalamnya. Manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui keimanan/kepercayaan, berpikir, pengalaman empiris, penghayatan dan intuisi.
Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak dan relatif. Pengetahuan yang bersifat mutlak diyakini mutlak kebenarannya atas dasar keimanan kepada Tuhan YME. Pengetahuan yang bersifat relatif diuji kebenarannya melalui uji konsistensi logis ide-idenya, kesesuaiannya dengan data atau fakta empiris, dan nilai kegunaan praktisnya bagi kesejahteraan manusia dengan mengacu kepada kebenaran dan nilai-nilai yang bersifat mutlak.
3. Aksiologi
Hakikat Nilai. Sumber pertama segala nilai hakikatnya adalah Tuhan YME. Karena manusia adalah makhluk Tuhan, juga adalah pribadi dan sekaligus insan social, maka hakikat nilai diturunkan dari Tuhan YME, masyarakan dan individu.
Implikasi terhadap Pendidikan
1. Makna Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Pasal 1 UU RI No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Pendidikan bukanlah proses pembentukan peserta didik agar menjadi orang tertentu sesuai kehendak sepihak dari pendidik. Karena peserta didik hakikatnya adalah pribadi yang memiliki potensi dan memiliki keinginan untuk menjadi dirinya sendiri, maka upaya pendidikan harus dipandang sebagai upaya bantuan dan memfasilitasi peserta didik dalam rangka mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Tujuan Pendidikan
Pandangan pancasila tentang hakikat realitas, manusia, pengetahuan dan hakikat nilai mengimplikasikan bahwa pendidikan seyogyanya bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Tujuan pendidikan hendaknya kita sadari betul, sehingga pendidikan yang kita selenggarakan bukan hanya untuk mengembangkan salah satu potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu saja, bukan hanya untuk terampil bekerja saja, dsb., melainkan demi berkembanganya seluruh potensi peserta didik dalam konteks keseluruhan dimensi kehidupannya secara integral.
3. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasar dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Kurikulum pendidikan Idealisme dan Realisme diorganisasikan dengan berpusat kepada materi ajar. Sebaliknya, kurikulum pendidikan Pragmatisme dan Eksistensialisme diorganisasikan dengan berpusat pada peserta didik/siswa dan berpusat kepada aktivitas siswa. Filsafat pendidikan yang berdasarkan Pancasila menyarankan organisasi kurikulum yang bersifat moderat dan fleksibel. Kurikulum memang perlu diorganisasikan dengan memperhatikan minat, bakat, kebutuhan, masalah dan tujuan-tujuan siswa/peserta didik, tetapi di pihak lain perlu pula memperhatikan struktur materi ajar sebagai isinya.
4. Metode Pendidikan
Berbagai metode pendidikan yang ada merupakan alternatif untuk diaplikasikan. Sebab, tidak ada satu metode mengajar pun yang terbaik disbanding metode lainnya dalam segala konteks praktek pendidikan. Pemilihan dan aplikasi metode pendidikan hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan yang hendak dicapai, hakikat manusia atau peserta didik, karakteristik isi/materi pendidikan, dan fasilitas alat bantu pendidikan yang tersedia. Penggunaan metode pendidikan diharapkan memperhatikan prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA) dan sebaiknya bersifat multi metode.
5. Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Ada berbagai peranan pendidik dan peserta didik yang harus dilaksanakan, namun pada dasarnya berbagai peranan tersebut tersurat dan tersirat dalam semboyan: “ing ngarso sungtulodo” artinya pendidik harus memberikan atau menjadi teladan bagi peserta didiknya; “ing madya mangun karso”, artinya pendidik harus mampu membangun karsa pada diri peserta didiknya; dan “tut wuri handayani” artinya bahwa sepanjang tidak berbahaya pendidik harus memberi kebebasan atau kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri.
6. Orientasi Pendidikan
Pendidikan mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi konservasi dan fungsi kreasi. Fungsi konservasi dilandasi asumsi bahwa terdapat nilai-nilai, pengetahuan, norma, kebiasaan-kebiasaan, dsb. Yang dijunjung tinggi dan dipandang berharga untuk tetap dipertahankan. Adapun fungsi kreasi dilandasi asumsi bahwa realitas tidaklah bersifat terberi dan telah selesai sebagaimana diajarkan oleh sains modern. Tetapi realitas “mewujud” sebagaimana kita manusia dan semua anggota alam semesta berpartisipasi “mewujudkannya”.
Dalam hal ini hakikat pendidikan seyogyanya diletakkan pada upaya-upaya untuk menggali dan mengembangkan petensi para pelajar agar mereka tidak saja mampu memahami perubahan tetapi mampu berperan sebagai agen perubahan atau perajut realitas. Perubahan merupakan suatu keharusan atau kenyataan yang tidak dapat kita tolak, sehingga para peserta didik harus dididik untuk menguasainya. Dan bukan sebaliknya, mereka menjadi dikuasai oleh perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar