Kamis, 25 Agustus 2011

Prinsip-prinsip Dalam Pengajaran Membaca


BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Konsepsi Membaca
Membaca adalah kegiatan berinteraksi dengan bahasa yang dikodekan ke dalam cetakan (huruf-huruf). Pengertian di atas merupakan pengertian yang paling umum. Adapun pengertian yang lebih khusus adalah sebagai berikut.
a.       Membaca adalah kegiatan decoding print into sound atau aktivitas menguraikan kode kode cetakan (tulisan) ke dalam bunyi; dengan kata lain membunyikan kode-kode cetakan/tulisan.
b.      Membaca merupakan decoding a graphic representative of language into meaning atau aktivitas menguraikan kode-kode grafis yang mewakili bahasa ke dalam arti tertentu.
Dua definisi di atas berhubungan dengan dua fase membaca yang perlu diperhatikan guru apabila ingin membimbing pertumbuhan/perkembangan anak dalam membaca. Membaca merupakan rangkaian kegiatan yang bertahap dan berkesinambungan. Adapun rangkaian kegiatan membaca dapat dibedakan menjadi tahapan berikut.
1.      Tahap prabaca, pembaca menyiapkan sumber atau bahan bacaan.
2.      Tahap baca, pembaca melaksanakan kegiatan membaca di suatu ruang (tempat) dengan alokasi waktu tertentu.
3.      Tahap pascabaca, pembaca memberikan respons atau tanggapan terhadap isi atau pesan yang dibacanya (Tarigan, 1986; Rofi’uddin, 1999; Supriyadi, 1994; Zuchdi, 1997; Syafi’ie, 1981).

2.2 Prinsip-prinsip Pengajaran Membaca
terdapat 17 prinsip pengajaran membaca yang dikemukakan Heilman. Ketujuh belas prinsip tersebut disusun dan dikembangkan berdasarkan pandangan-pandangan psikologi, psikologi pendidikan, dan perencanaan kurikulum. Juga disusun berdasarkan hasil kajian pertumbuhan dan perkembangan anak, serta psikologis klinisnya.
Adapun ketujuh belas prinsip tesebut adalah sebagai berikut.
1)      Membaca adalah proses bahasa: anak yang akan belajar membaca harus memahami hubungan antara membaca dan bahasanya. Membaca dikatakan sebagai suatu proses karena
salah satu langkah yang esensial adalah dengan bahasa yang dilisankan. Siswa memfokuskan membaca pada kata-kata tunggal dan huruf-huruf dalam kata kemudian membunyikannya.
2)      Selama setiap periode pengajaran membaca, siswa harus membaca dan mendiskusikan sesuatu yang dipahaminya. Siswa dapat memberi penjelasan berkaitan dengan membacanya melalui pengalaman siswa, dari kekuatan dan keindahan bahasa yang dibacanya. Misalnya penggunaan kata-kata yang tidak tepat, menebak makna kata.
3)      Pengajaran akan membawa anak untuk memahami bahwa membaca harus “berarti”. Prinsip ini tidak mengimplikasikan bahwa sejumlah periode pengajaran tidak dapat memfokuskan pada keterampilan yang terisolasi seperti hubungan bunyi-bunyi huruf. Menurut prinsip ini, membaca lebih dari sekedar sebagai proses mekanis, walaupun bukan termasuk membaca kritis.
4)      Perbedaan siswa harus jadi pertimbangan utama dalam pengajaran membaca. Dalam mengajarkan membaca, guru harus memperhatikan dan menerapakan philosofi pendidikan.
5)      Sepantasnya pengajaran membaca bergantung pada diagnosis pada setiap kelemahan dan kebutuhan anak/siswa. Prinsip ini dapat diaplikasikan untuk pengajaran kelas-kelas “khusus”
untuk pengajaran remedial membaca. Dalam banyak kasus, diagnosis ini sebaiknya dilakukan guru sebelum muncul kebiasaan buruk/reaksi-reaksi emosional yang tidak baik.
6)      Diagnosis yang baik tidak akan berguna kecuali bila dilaksanakan dalam rancangan. Untuk mengetahui kelemahan-kelemahan membaca, guru perlu melakukan tes sehingga kelemahankelemahan siswa dalam aktivitas membaca.
7)      Beberapa teknik, latihan atau prosedur yang diberikan mungkin lebih baik dikerjakan dengan sejumlah siswa. Karena itu, guru membaca harus menggunakan pendekatan yang bervariasi.
Tidak ada metode yang paling tepat, bergantung/disesuaikan dengan karakteristik siswa dan didasarkan pada perbedaan-perbedaan individual yamg signifikan.
8)      Pada awalnya proses belajar anak harus mendapat cara/kebebasan dalam mengidentifikasikan kata-kata yang maknanya diketahui dan yang tidak diketahui anak. Pada awalnya dalam
membaca, siswa hanya membunyikan kata-kata.
9)      Belajar membaca merupakan proses perkembangan yang panjang dalam periode tahunan.
Ada dua premis yang mendukung prinsip ini yaitu :
a.       Setiap aspek program pengajaran dihubungkan dengan tujuan akhir untuk menghasilkan pembaca yang efisien.
b.      Sikap-sikap awal siswa dalam membaca penting (misalnya membaca terlalu cepat)
10)  Konsep kesiapan membaca seharusnya dibina secara bertahap untuk meningkatkan ke seluruh tingkatan. Kesiapan harus dimulai dari tingkat yang paling rendah, walaupun sudah mencapai tingkat lebih tinggi tetapi tetap harus mengacu/berpedoman pada yang permulaan. Permulaan yang baik merupakan faktor penting dalam proses belajar, tetapi permulaan yang baik bukanjaminan untuk sukses, karena membaca adalah proses perkembangan yang terus-menerus.
11)  Perhatian seharusnya ditekankan pada pencegahan bukan pada penyembuhan. Masalah-masalah membaca seharusnya sudah diketahui/dideteksi sejak awal dan dibenahi sebelum mereka gagal. Hal itu untuk keefektifan pengajaran.
12)  Tak ada siswa yang harus dipaksa mencoba membaca pada saat dia merasa tidak mampu. Prinsip ini dihubungkan dengan fakta bahwa anak-anak mempunyai tahap perkembangan dan pertumbuhan berbeda. Pola perkembangan anak tidak seragam, baik perkembangan fisik, sosial emosional dan intelektual. Suatu saat anak merasa lebih pada satu pelajararan dan merasa rendah atau kurang mampu pada yang lain. Hal itu mungkin saja karena emosi, sosial atau pertumbuhan pendidikannya terganggu.
13)  Seorang anak mempunyai kemampuan untuk naik pada level membaca yang lebih tinggi, seharusnya tidak dicegah. Pada tingkat menengah atau tinggi mungkin ada di antara anak yang berkemampuan lebih daripada pembaca rata-rata (biasa saja). Atau mungkin dia juga tidak tertarik atau tidak merasa perlu materi tersebut. Anak seperti ini seharusnya dibina dan didorong untuk mengubah perilakunya dan diberi kebebasan memilih sendiri.
14)  Belajar membaca merupakan proses yang rumit (peka untuk memberikan variasi-variasi tekanan). Ini berkaitan dengan anggapan bahwa membaca merupakan fungsi bahasa yang di
dalamnya telah dimanipulasikan simbol-simbol material. Proses simbolik itu peka terhadap banyak penekanan, sedangkan bahasa paling peka karena mengindikasikan individu atau emosional pemakainya.
15)  Belajar tidak harus di dalam kelas, jika siswa mengalami problem-problem emosional yang cukup serius. Di samping problem-problem emosional, gangguan-gangguan bersifat fisis seperti radang tenggorokan, gigi bengkak, cacat kulit, dan sebagainya mengarahkan guru untuk mengajar tidak harus di dalam kelas. Namun, yang lebih ditekankan bahwa kesehatan emosional seperti kesungguhan dapat dijadikan dasar penting untuk pembentukan kemampuan membaca.
16)  Pengajaran membaca harus dapat dipikirkan berkenaan dengan penataan, sistematika, pertumbuhan dan penghasilan aktivitas.
Premis yang diyakini keampuhannya adalah bahwa lingkungan kelas merupakan bagian integral dari pengajaran.
17)  Pengadopsian bahan pengajaran tertentu merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan (ia akan berdampak dan berpengaruh pada filosofi pengajaran sekolah). Prinsip-prinsip dalam pengajaran membaca di atas perlu diketahui dan dipahami, karena hal itu diperlukan untuk mendapatkan hasil membaca yang maksimal. Terutama untuk guru dalam menerapkan pengajaran membaca


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar